Selasa, 13 Maret 2007

Utang

Oleh: Mahbubah Aseri

Ketika Khalifah Umar bin Khattab ditikam oleh Abu Lu'lu' Al Majusiy
dan beliau mengira bahwa kematian sudah dekat maka beliau memanggil
putranya Abdullah. Kepada anaknya Umar berkata: "Periksalah, berapa
jumlah utang yang harus kubayar?"

Berkata Abdullah: "Maka beliau pun menghitung dan mendapatkan bahwa
hutangnya sejumlah 86.000 dirham" (1 dirham = 2,975 gram perak).
Kemudian beliau berkata: "Apabila keluarga Umar tidak mampu untuk
melunasinya maka mintalah kepada Bani 'Adiy, dan apabila masih belum
cukup juga maka mintalah kepada Quraisy, dan jangan minta kepada
selain mereka".

Demikianlah, potret seorang penguasa yang adil, penakluk dua negara
adidaya ketika itu, Romawi dan Persia. Betapa menakjubkan, beliau
justru memiliki banyak utang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, dan
hal itu baru terekspos ketika beliau sudah mendekati ajal. Itulah
bukti betapa Umar sangat menjaga diri dari aji mumpung, memanfaatkan
kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri.

Kejadian itu sungguh kontradiktif dengan para penguasa di zaman ini
yang hidup mewah, akan tetapi meninggalkan utang yang banyak bagi
rakyatnya. Kekuasaan yang diberikan tidak ditujukan untuk
menyejahterakan rakyat tetapi rakyatlah yang harus menanggung derita.

Lihatlah hasil pencatatan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN). Para penguasa memiliki aset miliaran. Mereka hidup
bergelimang dolar. Sebaliknya rakyat, untuk memenuhi kebutuhan perut
saja sulit. Ditambah lagi dengan utang negara yang belum tentu bisa
lunas sampai tujuh turunan.

Belum lagi pajak yang mencekik leher, biaya hidup yang semakin
melambung tinggi, fasilitas umum yang jelek, jumlah pengangguran yang
sangat banyak, kejahatan di semua lini dan lain-lain. Padahal
pemilikan umum dan pemilikan negara begitu luar biasa apabila dikelola
untuk kepentingan rakyat. Negeri kita adalah negeri yang sangat kaya
akan sumber daya alam dan manusia. Tetapi rakyat di negeri ini bagai
ayam yang kelaparan di lumbung padi.

Sungguh tercela penguasa yang hanya mementingkan pribadi dan kroninya,
serta menipu rakyatnya, padahal Rasulullah SAW telah bersabda:
"Tidaklah di antara hamba Allah yang diberikanNya kekuasaan dan dia
mati dalam keadaan menipu rakyatnya kecuali Allah mengharamkan atasnya
masuk sorga." (Muttafaq alaih)

Sumber : Harian Republika