Jumat, 12 Desember 2008

Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak

Oleh : Jalaluddin Rakhmat

Waktu itu, dini hari, di sebuah rumah sederhana. Rahman dan isterinya
terbangun karena mendengar derak pintu terbuka. Dipasangnya telinganya
tajam-tajam. Mereka yakin suara itu berasal dari kamar anaknya, yang berusia
tujuh tahun. Langkah-langkah kecil, terdengar seperti berjingkat-jingkat,
bergerak menuju satu-satunya kamar mandi di rumah itu. Mereka mendengar
suara air mengalir yang disusul dengan suara gerakan membasuh.

Langkah-langkah kecil itu kembali ke kamarnya. Walaupun sayup, karena
dinihari yang hening, mereka mendengar suara
bacaan Al-Quran. Anak itu rupanya sedang melakukan salat malam. Tiba-tiba
keduanya merasakan airmata hangat membasahi pipinya.

Kisah ini disampaikan kepada saya oleh Pak Rahman, ketika saya masih
menjadi guru mengaji anak-anak di kampung
tempat tinggal saya. Karena kejadian itu, kedua orang tua itu mulai
melakukan salat dan meninggalkan perjudian populer- lotto. Ini terjadi
kira-kira tiga puluh tahun yang lalu. Saya mendengar kejadian lain yang
hampir mirip dengan itu dua atau tiga tahun yang lalu.

Kali ini, saya menjadi direktur SMU (Plus) Muthahhari. Seorang ibu, orang
tua murid yang baru lulus, datang dari Banten. Ia
meminta bantuan saya untuk mengirim Rahmat ke Jerman. Ia sudah meyakinkan
anaknya bahwa ia tidak akan mampu untuk membiayainya. Tetapi anaknya
berulang-kali meyakinkan orangtuanya, bahwa Tuhan pasti akan memberikan
jalan.

Di tengah-tengah pembicaraan, ibu itu bercerita tentang perubahan perilaku
anaknya setelah masuk sekolah kami. Waktu
pulang kampung, ia banyak menaruh perhatian pada tetangga-tetangganya yang
miskin. Menjelang Lebaran, seperti biasanya,
ibu itu memberi anaknya uang untuk membeli pakaian baru. Rahmat menerima
uang itu seraya minta izin untuk memberikannya pada tukang becak
tetangganya. Uang ini jauh lebih berharga bagi dia ketimbang saya, Bu, kata
Rahmat. Ibunya bercerita sambil meneteskan airmata.

Kedua kisah nyata di atas menyajikan contoh anak yang cerdas secara
spiritual. Keduanya terjadi jauh sebelum konsep
kecerdasan spiritual ramai diperbincangkan. Karena saya tidak ingin
bertele-tele mendiskusikan apa yang disebut SQ, dan hanya untuk menyamakan
pengertian SQ, saya akan mengutip lima karakteristik orang yang cerdas
secara spiritual menurut Roberts A. Emmons, The Psychology of Ultimate
Concerns:

(1) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material;
(2) kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak;
(3) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari;
(4) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan
masalah;
(5) dan kemampuan untuk berbuat baik

Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti
kecerdasan spiritual. Anak yang merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk
ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Ia
memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan
dia dengan seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada
apa yang disaksikan dengan alat-alat indrianya. Anak Pak Rahman pada kisah
pertama memiliki kedua ciri ini, terutama ketika ia menyampaikan doa-doa
personalnya dalam salat malamnya.

Sanktifikasi pengalaman sehari-hari, ciri yang ketiga, terjadi ketika kita
meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Konon, pada abad
pertengahan seorang musafir bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang
mengangkut batu-bata. Salah seorang di antara mereka bekerja dengan muka
cemberut, masam, dan tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria,
gembira, penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian. Kepada keduanya
ditanyakan pertanyaan yang sama, Apa yang sedang Anda kerjakan? Yang
cemberut menjawab, Saya sedang menumpuk batu. Yang ceria berkata, Saya
sedang membangun katedral! Yang kedua telah mengangkat pekerjaan menumpuk
bata pada dataran makna yang lebih luhur. Ia telah melakukan sanktifikasi.

Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya
secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan makna
kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual seperti
teks-teks Kitab Suci atau wejangan orang-orang suci untuk memberikan
penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi.
Ketika Rahmat diberitahu bahwa orang tuanya tidak akan sanggup
menyekolahkannya ke Jerman, ia tidak putus asa. Ia
yakin bahwa kalau orang itu bersungguh-sungguh dan minta pertolongan kepada
Tuhan, ia akan diberi jalan. Bukankah Tuhan
berfirman, Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, Kami akan
berikan kepadanya jalan-jalan Kami? Bukankah Heinrich Heine memberikan
inspirasi dengan kalimatnya Den Menschen macht seiner Wille groß und klein?
Rahmat memiliki
karakteristik yang keempat.

Tetapi Rahmat juga menampakkan karakteristik yang kelima: memiliki rasa
kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan. The fifth and final component
of spiritual intelligence refers to the capacity to engage in virtuous
behavior: to show forgiveness, to express gratitude, to be humble, to
display compassion and wisdom, tulis Emmons. Memberi maaf, bersyukur atau
mengungkapkan terimakasih, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang
dan kearifan, hanyalah sebagian dari kebajikan.
Karakteristik terakhir ini mungkin disimpulkan dalam sabda nabi Muhammad
saw, Amal paling utama ialah engkau masukkan
rasa bahagia pada sesama manusia.


Kiat-kiat mengembangkan SQ anak

Dengan pengertian di atas, berikut ini saya sampaikan secara singkat
kiat-kiat untuk mengembangkan SQ anak-anak kita:
(1) Jadilah kita gembala spiritual yang baik,
(2) bantulah anak untuk merumuskan missi hidupnya,
(3) baca kitab suci bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan kita,
(4) ceritakan kisah-kisah agung dari tokoh-tokoh spiritual,
(5) diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah,
(6) libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan,
(7) bacakan puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional,
(8) bawa anak untuk menikmati keindahan alam,
(9) bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita, dan
(10) ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial.


Jadilah gembala spiritual.

Orang tua atau guru yang bermaksud mengembangkan SQ anak haruslah seseorang
yang SUDAH mengalami kesadaran
spiritual juga. Ia sudah mengakses sumber-sumber spiritual untuk
mengembangkan dirinya. Seperti disebutkan di atas yakni
karakteristik orang yang cerdas secara spiritual, ia harus dapat merasakan
kehadiran dan peranan Tuhan dalam hidupnya.

Spriritual intelligence is the faculty of our non-material dimension- the
human soul, kata Khalil Khavari. Ia harus sudah
menemukan makna hidupnya dan mengalami hidup yang bermakna. Ia tampak pada
orang-orang di sekitarnya sebagai orang yang berjalan dengan membawa cahaya.
(Al-Quran 6:122) Ia tahu ke mana ia harus mengarahkan bahteranya. Ia pun
menunjukkan tetap bahagia di tengah taufan dan badai yang melandanya.
Spiritual intelligence empowers us to be happy in spite of circumstances and
not because of them, masih kata Khavari. Bayangkanlah masa kecil kita
dahulu. Betapa banyaknya
perilaku kita terilhami oleh orang-orang yang sekarang kita kenal sebagai
orang yang berSQ tinggi. Dan orang-orang itu boleh
jadi orang-tua kita, atau guru kita, atau orang-orang kecil di sekitar kita.

Rumuskan missi hidup.

Nyatakan kepada anak bahwa ada berbagai tingkat tujuan, mulai dari tujuan
paling dekat sampai tujuan paling jauh, tujuan akhir kita. Kepada saya
datang seorang anak muda dari Indonesia bagian timur. Ia meminta bantuan
saya untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi swasta, setelah gagal di
UMPTN. Ia tidak punya apa pun kecuali kemauan. Sayang, ia belum bisa
merumuskan keinginannya dalam kerangka missi yang luhur.

Berikut ini adalah cuplikan percakapan kami:

- Saya ingin belajar, Pak
= Untuk apa kamu belajar?
- Saya ingin mendapat pekerjaan.
= Jika belajar itu hanya untuk dapat pekerjaan, saya beri kamu
pekerjaan. Tinggallah di rumahku. Cuci mobilku, dan saya bayar.
- Saya ingin belajar, Pak
= Untuk apa kamu belajar?
- Saya ingin mendapat pengetahuan
= Jika tujuan kamu hanya untuk memperoleh pengetahuan, tinggallah
bersamaku. Saya wajibkan kamu setiap hari untuk
membaca buku. Kita lebih banyak memperoleh pengetahuan dari buku ketimbang
sekolah.
- Tetapi saya ingin masuk sekolah.
= Untuk apa kamu masuk sekolah?
- Saya bingung, Pak.

Saya sebenarnya ingin mengarahkan dia untuk memahami tujuan luhur dia.
Dengan menggunakan teknik what then, señor
dalam anekdot Danah Zohar, kita dapat membantu anak untuk menemukan
missinya. Jika kamu sudah sekolah, kamu mau apa? Aku mau jadi orang pintar.
Jika sudah pintar, mau apa, what then? Dengan kepintaranku, aku akan
memperoleh pekerjaan yang bagus. Jika sudah dapat pekerjaan, mau apa? Aku
akan punya duit banyak.Jika sudah punya duit banyak, mau apa? Aku ingin
bantu orang miskin, yang di negeri kita sudah tidak terhitung jumlahnya.
Sampai di sini, kita sudah membantu anak untuk menemukan tujuan hidupnya.

Baca Kitab Suci.

Setiap agama pasti punya kitab suci. Begitu keterangan guru-guru kita.
Tetapi tidak setiap orang menyediakan waktu khusus untuk memperbincangkan
kitab suci dengan anak-anaknya. Di antara pemikir besar islam, yang
memasukkan kembali dimensi
ruhaniah ke dalam khazanah pemikiran Islam, adalah Dari Muhammad Iqbal.
Walaupun ia dibesarkan dalam tradisi intelektual
barat, ia melakukan pengembaraan ruhaniah bersama Jalaluddin Rumi dan
tokoh-tokoh sufi lainnya. Boleh jadi, yang membawa Iqbal ke situ adalah
pengalaman masa kecilnya. Setiap selesai salat Subuh, ia membaca Al-Quran.
Pada suatu hari, bapaknya berkata, Bacalah Al-Quran seakan-akan ia
diturunkan untukmu! Setelah itu, kata Iqbal, aku merasakan Al-Quran
seakan-akan berbicara kepadaku.

Ceritakan kisah-kisah agung.

Anak-anak, bahkan orang dewasa, sangat terpengaruh dengan cerita. Manusia,
kata Gerbner, adalah satu-satunya makhluk yang suka bercerita dan hidup
berdasarkan cerita yang dipercayainya. Para Nabi mengajar umatnya dengan
parabel atau kisah perumpamaan. Para sufi seperti Al-Attar, Rumi, Sadi
mengajarkan kearifan perenial dengan cerita. Sekarang Jack
Canfield memberikan inspirasi pada jutaan orang melalui Chicken Soup-nya.
Kita tidak akan kekurangan cerita luhur, bila kita
bersedia menerima cerita itu dari semua sumber. Saya senang berdiskusi
dengan anak-anak saya bukan hanya kisah-kisah Islam saja, juga cerita-cerita
dalam Alkitab, kisah-kisah dari Cina dan India, mitologi Yunani,
dongeng-dongeng dari berbagai tempat di tanah air, sejak kisah-kisah
pewayangan di Jawa sampai dongeng-dongeng dari Maluku. Begitu pula, saya
membaca cerita-cerita Andersen, fabel-fabelnya Jean de la Fontaine, sampai
Crayon Sin Chan. Saya selalu menemukan pelajaran berharga di dalamnya. Saya
bagikan pelajaran itu pada anak-anak saya, yang dilahirkan baik oleh isteri
saya, maupun oleh isteri-isteri orang lain (misalnya, yang saya ajar di
sekolah saya).

Diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah.

Melihat dari perspektif ruhaniah artinya memberikan makna dengan merujuk
pada Rencana Agung Ilahi (divine grand Design). Mengapa hidup kita
menderita? Kita sedang diuji Tuhan. Dengan mengutip Rumi secara bebas,
katakan kepada anak kita bahwa bunga mawar di taman bunga hanya merekah
setelah langit menangis. Anak kecil tahu bahwa ia hanya akan memperoleh air
susu dari dada ibunya setelah menangis. Penderitaan adalah cara Tuhan untuk
membuat kita menangis. Menangislah supaya Sang Perawat Agung memberikan susu
keabadian kepadamu. Mengapa kita bahagia? Perhatikan bagaimana Tuhan selalu
mengasihi kita, berkhidmat melayani keperluan kita, bahkan jauh sebelum kita
dapat menyebut asma-Nya.

Libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan.

Kegiatan agama adalah cara praktis untuk tune in dengan Sumber dari Segala
Kekuatan. Ambillah bola lampu listrik di rumah Anda. Bahaslah bentuknya,
strukturnya, komponen-komponennya, kekutan cahayanya, voltasenya, dan
sebagainya. Anda
pasti menggunakan sains. Kegiatan agama adalah kabel yang menghubungkan bola
lampu itu dengan sumber cahaya. Sembahyang, dalam bentuk apa pun, mengangkat
manusia dari pengalaman fisikal dan material ke pengalaman spiritual. Untuk
itu, kegiatan keagamaan tidak boleh dilakukan dengan terlalu banyak
menekankan hal-hal yang formal. Berikan kepada anak-anak kita makna batiniah
dari setiap ritus yang kita lakukan. Sembahyang bukan sekedar kewajiban.
Sembahyang adalah kehormatan untuk menghadap Dia yang Mahakasih dan
Mahasayang!

Bacakan puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional.

Seperti kita sebutkan di atas, manusia mempunyai dua fakultas; fakultas
untuk mencerap hal-hal material dan fakultas untuk
mencerap hal-hal spiritual. Kita punya mata lahir dan mata batin. Ketika
kita berkata masakan ini pahit, kita sedang menggunakan indra lahiriah
kita. Tetapi ketika kita berkata keputusan ini pahit, kita sedang
menggunakan indra batiniah kita. Empati, cinta, kedamaian, keindahan hanya
dapat dicerap dengan fakultas spiritual kita (Ini yang kita sebut sbg SQ).
SQ harus dilatih. Salah satu cara melatih SQ ialah menyanyikan lagu-lagu
ruhaniah atau membacakan puisi-puisi. Jika Plato berkata pada sentuhan cinta
semua orang menjadi pujangga, kita dapat berkata pada sentuhan puisi semua
orang menjadi pecinta.

Bawa anak untuk menikmati keindahan alam.

Teknologi moderen dan kehidupan urban membuat kita ter-alienasi dari alam.
Kita tidak akrab lagi dengan alam. Setiap hari kita berhubungan dengan alam
yang sudah dicemari, dimanipulasi, dirusak. Alam tampak di depan kita
sebagai musuh setelah kita memusuhinya. Bawalah anak-anak kita kepada alam
yang relatif belum banyak tercemari. Ajak mereka naik ke puncak
gunung. Rasakan udara yang segar dan sejuk. Dengarkan burung-burung yang
berkicau dengan bebas. Hirup wewangian alami. Ajak mereka ke pantai. Rasakan
angin yang menerpa tubuh. Celupkan kaki kita dan biarkan ombak kecil
mengelus-elus jemarinya. Dan seterusnya. Kita harus menyediakan waktu khusus
bersama mereka untuk menikmati ciptaan Tuhan, setelah setiap hari kita
dipengapkan oleh ciptaan kita sendiri.

Bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita.

Nabi Musa pernah berjumpa dengan Tuhan di Bukit Sinai. Setelah ia kembali ke
kaumnya, ia merindukan pertemuan dengan
Dia. Ia bermunajat, Tuhanku, di mana bisa kutemui Engkau. Tuhan berfirman,
Temuilah aku di tengah-tengah orang-orang
yang hancur hatinya. Di sekolah kami ada program yang kami sebut sebagai
spiritual camping. Kami bawa anak-anak ke daerah pedesaan, di mana alam
relatif belum terjamah oleh teknologi. Malam hari, mereka mengisi waktunya
dengan beribadat
dan tafakkur. Siang hari mereka melakukan action research, untuk mencari dan
meneliti kehidupan orang yang paling miskin di sekitar itu. Seringkali,
ketika mereka melaporkan hasil penelitian itu, mereka menangis. Secara
serentak, mereka menyisihkan
uang mereka untuk memberkan bantuan. Dengan begitu, mereka dilatih untuk
melakukan kegiatan sosial juga.

Ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial.

Saya teringat cerita nyata dari Canfield dalam Chicken Soup for the Teens.
Ia bercerita tentang seorang anak yang catatan
kejahatannya lebih panjang dari tangannya. Anak itu pemberang, pemberontak,
dan ditakuti baik oleh guru maupun kawan-
kawannya Dalam sebuah acara perkemahan, pelatih memberikan tugas kepadanya
untuk mengumpulkan makanan untuk
disumbangkan bagi penduduk yang termiskin. Ia berhasil memimpin
kawan-kawannya untuk mengumpulkan dan membagikan makanan dalam jumlah yang
memecahkan rekor kegiatan sosial selama ini. Setelah makanan, mereka
mengumpulkan selimut dan alat-alat rumah tangga. Dalam beberapa minggu saja,
anak yang pemberang itu berubah menjadi anak yang lembut dan penuh kasih.
Seperti dilahirkan kembali, ia menjadi anak yang baik rajin, penyayang, dan
penuh tanggung jawab.

==========
[6:54]... kataba rabbukum 'ala nafsihi rahmah...

Allahumma a'inni 'ala dzikrika wasyukrika wahusni 'ibadatika