Sabtu, 24 Juli 2010

Harta Gono-Gini dalam Islam

Secara ringkas, yang dimaksud harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Misalnya rumah yang dibangun dari hasil kerja suami dan istri, harta yang dihibahkan kepada mereka berdua atau dibeli dengan uang mereka berdua. Menurut pasal 35 UU Perkawinan di Indonesia, harta gono-gini adalah "Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama." Ada beberapa hal yang bisa memperjelas pengertian di atas, sebagai berikut:

Pertama: Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, seperti kursi, tempat tidur, kulkas, kompor, mobil adalah milik suami dan bukanlah harta gono-gini, termasuk dalam hal ini adalah harta warisan yang didapatkan suami, atau hadiah dari orang lain yang diberikan kepada suami secara khusus.

Kedua: Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, kemudian secara sengaja dan jelas diberikan kepada istrinya, seperti suami yang membelikan baju dan perhiasan untuk istrinya, atau suami membelikan motor dan dihadiahkan untuk istrinya, maka harta tersebut walaupun dibeli dengan harta suami, tetapi telah menjadi harta istri, dan bukan pula termasuk dalam harta gono-gini.

Ketiga: Barang-barang yang dibeli dari harta istri, atau orang lain yang menghibahkan sesuatu khusus untuk istri, maka itu semua adalah menjadi hak istri dan bukan merupakan harta gono-gini.

Konsep harta dalam Islam
Di dalam Islam, konsep harta dalam rumah tangga dijelaskan dalam beberapa ayat:

Pertama: Bahwa harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, sebagaiman firman Allah: "Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan." (Qs An Nisa': 5)

Kedua: Kewajiban suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai berikut:
Pertama: memberikan mahar kepada istri. "Berikanlah mas kawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai bentuk kewajiban (yang harus dilaksanakan dengan ikhlas)." (Qs An Nisa': 4)
Kedua: memberikan nafkah kepada istri dan anak, sebagaimana firman Allah: "Dan kepada ayah berkewajiban memberi nafkah yang layak kepada istrinya." (Qs Al Baqarah: 233)
Ketiga: Suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali dengan izin dan ridhanya, "Jika mereka (istri-istri kamu) menyerahkan dengan penuh kerelaan sebagian mas kawin mereka kepadamu, maka terimalah pemberian tersebut sebagai harta yang sedap dan baik akibatnya." (Qs An Nisa': 4)
Keempat: Jika terjadi perceraian antara suami istri, maka ketentuannya sebagai berikut:
1 - Istri mendapat seluruh mahar jika ia telah melakukan hubungan seksual dengan suaminya, atau salah satu diantara kedua suami istri tersebut meninggal dunia dan mahar telah ditentukan, dalam hal ini Allah berfirman: "Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri." (Qs An Nisa': 20-21).
2 - Istri mendapat setengah mahar jika dia belum melakukan hubungan seksual dengan suaminya dan mahar telah ditentukan. "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu." (Qs Al Baqarah: 237)
3 - Istri mendapat mut'ah (uang pesangon) jika dia belum melakukan hubungan seksual dengan suaminya dan mahar belum ditentukan. "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu, memberi menurut kemampuannya dan orang yang miskin memberi menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu, merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan." (Qs Al Baqarah: 236)

Bagaimana pembagian harta gono-gini menurut Islam?
Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono-gini. Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum dalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah:

Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur'an disebut dengan istilah "As Shulhu" yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami-istri) setelah mereka berselisih. Allah SWT berfirman: "Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)." (Qs An Nisa': 128)

"Perdamaian adalah boleh diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram." (HR Abu Dawud, ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi). Di dalam mencari kesepakatan, adakalanya satu atau kedua belah pihak harus merelakan haknya. Sebab, akan sangat sulit mencapai kata sepakat jika masing-masing bersikeras menuntut. Kesepakatan ini bisa dilakukan antar suami dan istri atau juga dengan mengikutsertakan pihak ketiga. Dengan pihak ketiga sebagai pihak netral, diharapkan masalah bisa terselesaikan dengan baik. Memang di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97, disebutkan bahwa pembagian harta gono-gini harus 50:50. Hanya saja, ketentuan ini tidak ada dalam hukum Islam. Wallahu A'lam.

Disadur dari : Majalah Islam Ar- Risalah Hal. 30 Edisi 96 / Vol. VIII / No.12 Jumadal Akhir - Rajab 1430 H / Juni 2009