"Kepada Presiden Jokowi Jangan takut dengan jenderal-jenderal karena hasil IPT ini keputusan internasional."
Mengapa sampai hari ini nada sumbang atau nyinyiran mengenai pemerintah terus di gembar gemborkan terutama keterpurukan dibidang ekonomi padahal saya cukup salut dengan kerja keras pemerintah ditengah musibah yang melanda seluruh dunia , ekonomi Kita masih bisa tumbuh
Sebuah pernyataan yang sampai Sekarang terus diolah para pembenci pemerintah adalah keterpurukan ekonomi dan kebangkitan PKI.
Seperti dilansir dari BBC, dalam sebuah wawancara Presiden Jokowi menjawab terkait kritikan kepada dirinya terkait penanganan pelanggaran HAM dan berbagai persoalan lainnya
Jokowi menyatakan, ia memprioritaskan agenda ekonomi terlebih dahulu dalam periode ke-2 pemerintahannya.
Sebab, Jokowi menilai, kebutuhan masyarakat pada saat ini adalah kesejahteraan dalam bidang ekonomi.
"Prioritas yang saya ambil memang di bidang ekonomi terlebih dahulu. Tapi memang bukan saya tidak senang dengan urusan HAM, atau tidak senang dengan lingkungan, tidak, kita juga kerjakan itu," kata Presiden Jokowi kepada BBC News.
"Tapi memang, kita baru memberikan prioritas yang berkaitan dengan ekonomi karena rakyat memerlukan pekerjaan. Rakyat perlu ekonominya tambah sejahtera," tambahnya.
Justru ini yang menjadi pemicu para pengikut atau simpatisan Order Baru selalu membuat gonjang ganjing dan Tentang ekonomi supaya pemerintah melupakan masalah HAM.
Padahal prioritas bidang ekonomi bisa beriringan dengan penuntasan masalah HAM.terutama HAM dimasa lalu serta pemerintah segera melakukan pelurusan sejarah secara konferhensip.
Saya agak kurang sependapat dengan Pak Presiden karena penuntasan masalah HAM tinggal dibutuhkan keberanian apalagi setelah TNI bisa sepenuhnya dipegang pemerintah, seperti Kita ketahui ( bisa dilihat dari tulisan saya mengenai Riwayat Jendral Suharto & Orde Baru yang berjilid-jilid Itu ).
Kerusakan yang ditimbulkan oleh masa lalu terutama Genosida 1965 sangatlah besar, selain penjarahan sumber daya alam, masuknya investor asing dengan perjanjian yang justru merugikan negara karena korupsi dan Komisi yang berlebihandan perilaku KKN ditambah gerakan - gerakan yang semakin marak untuk menggoyang kekuasaan pemerintah tapi masalah yang utama adalah perbaikan moral dan harga diri bangsa serta rakyat Indonesia yang sudah hancur lebur diperkosa Orde Baru, diluar Negri Kita dianggap bangsa yang lemah dan koruptif karena bisa didikte selama lebih dari 3 dekade terutama oleh Negara barat , Amerika , Inggris dan sekutunya.
Anak anak muda Generasi milenial diajarkan untuk hidup konsumtif , mempercayai kebohongan dengan terus ditipu dengan sejarah palsu dan terus mewarisi perilaku koruptif karena selama puluhan tahun diberi contoh perilaku tidak baik, menganggap seorang para Koruptor sebagai Pahlawan bangsa. Sombong mudah menuduh orang lain Kafir dan sebagainya menganggap hina dan rendah manusia lain , seperti orang -orang yang dituduh PKI dan keturunannya.
Presiden harus mampu memberikan Rasa keadilan bagi seluruh masyarakat juga kepada kaum marjinal yang pernah terbuang dengan tuduhan fitnah karena pro Sukarno dan terlibat PKI. ini memberikan dampak.yang sangat luas Karena dalam era milenial ini Tak ada lagi batas antar negara. Apalagi pada dekade Tahun 2015 saat IPT (International People's Tribunal) Pengadilan Hak Rakyat dunia di Belanda telah membuktikan pemerintah dan militer bersalah, disusul Film Jagal (The Killing Acts) karya Joshua Oppenhaimer pada Tahun 2015 mendapatkan Award di 13 negara di dunia (justru dilarang di Indonesia ) dan Masuk nominasi Oscar di Amerika , bangsa Kita sudah ditelanjangi habis habisan karena kasus HAM masa lalu.
Kemudian pemerintah Amerika Serikat di Washington pada Tahun 2017 secara resmi mengakui adanya konspirasi antara Amerika Serikat dan sekutunya dengan pemerintah Orde Baru melakukan penggulingan kekuasaan Presiden Soekarno dan mendukung kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Orde Baru dengan Membuka secara resmi dokumen CIA.
Mau dikemanakan wajah bangsa Indonesia jika terus menerus menutupi kejahatan dan kebohongan ? .
Berikut Hasil IPT 1965 di Den Hag yang diputuskan tanggal 14 Nopember 2014
"Kepada Presiden Jokowi, jika ingin memenuhi janji, ini adalah kesempatan yang baik. Jangan takut dengan jenderal-jenderal karena hasil IPT ini keputusan internasional"
Menulis Surat. Para peserta sidang IPT 1965 menulis harapannya di surat terbuka untuk menghormati korban tragedi 1965 di Den Haag.
DEN HAAG, Belanda—Sambil meraba huruf braille, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Rakyat Internasional Zak Yacoob lantang mengumumkan putusannya.
Sepakat dengan dakwaan jaksa, sembilan pelanggaran HAM serius menyusul peristiwa 1965 dinyatakan benar terjadi. Indonesia bertanggung jawab, begitu pula negara-negara lain yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan itu.
Pengadilan Rakyat Internasional menyimpulkan telah terjadi kejahatan kemanusiaan berat di Indonesia pada 1965 yang melanggar hukum internasional. Indonesia pada masa itu telah mendorong terjadinya pelanggaran HAM ini melalui militernya, dengan rantai komando militer terorganisir rapi dari atas ke bawah.
"Telah terjadi pembantaian massal, pemenjaraan orang tanpa pengadilan, perlakuan tak manusiawi terhadap para tahanan, penyiksaan dan kerja paksa yang mirip perbudakan. Banyak kekerasan seksual terhadap perempuan yang sistematis dan rutin ketika para tahanan ditangkap dan diasingkan," papar Yakoob, Jumat, 13 November di ruang sidang, Den Haag.
Para hakim pun meyakini, rezim Orde Baru (Orba) punya maksud politik untuk menyingkirkan Partai Komunis Indonesia (PKI), anggota dan simpatisannya, loyalis Sukarno, serikat buruh, dan para guru. Juga berupaya menghilangkan atau membatasi mereka yang menentang rezim Orba.
Lebih jauh lagi, hakim sepakat bahwa propaganda Orba sengaja dilakukan untuk mendorong masyarakat melakukan dehumanisasi dan pembunuhan terhadap anggota PKI.
Misalnya propaganda bahwa Gerwani telah memotong penis beberapa jenderal di Lubang Buaya. "Padahal hasil otopsi telah menyatakan itu tak benar dan sudah lama diketahui Pemerintah Indonesia," kata Yacoob.
Propaganda tersebut juga telah mengarahkan Indonesia mempercayai sejarah yang dikuasai oleh rezim diktator.
Keterlibatan negara lain
TIDAK ADA REKONSILIASI. Para peserta sidang IPT 1965 menulis harapannya di surat terbuka "No reconsiliation without truth" untuk menghormati korban tragedi 1965 di Den Hag.
Keputusan itu pun menyatakan sejumlah negara lain telah membantu Orba dalam kejahatan kemanusiaan 1965. Dalam konteks Perang Dingin waktu itu, Indonesia dikhawatirkan akan menjadi kekuatan komunis baru. Setidaknya tiga negara, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia terlibat dalam operasi Orba menumpas PKI.
Ketiganya memberi bantuan rahasia kepada rezim Orba berupa dana, teknologi komunikasi, persenjataan, dan lainnya. Bantuan tersebut penting sebab saat itu kondisi ekonomi Indonesia sedang parah-parahnya. Sebagai ganti bantuan, Indonesia akan membayarnya kemudian.
Menurut sejarawan AS Bradley Simpson, AS baru terlibat setelah penembakan para jenderal terjadi.
"Presiden Lyndon Johnson menyadari kesempatan untuk menghancurkan PKI. Mulailah Kedutaan Besar AS di Jakarta mengadakan kontak dengan A H Nasution, sampai sepakat untuk memberi bantuan," katanya.
Di pihak lain, Inggris, berkepentingan ekonomi. Perusahaan minyaknya di Indonesia akan terancam jika PKI menguat.
Tak heran, pada suatu hari di tahun 1965, "Sebuah kapal berbendera Inggris muncul di laut menuju Sumatera dengan mengangkut Sarwo Edhi dan pasukannya," kara Bradley.
Ia berharap, keputusan IPT 1965 tentang keterlibatan negara lain ini membuka mata dunia internasional. Negara-negara yang terlibat, terutamanya, bisa membantu dengan membuka dokumen-dokumen rahasianya yang terkait 1965.
Kritik untuk Jokowi
Semua keputusan yang dibacakan Yacoob masih berupa keputusan awal. Majelis hakim masih butuh beberapa bulan lagi untuk menerbitkan keputusan final yang lengkap dengan argumen penjelasannya.
Namun, dalam keputusan awal tersebut, sudah terdapat berbagai catatan dan rekomendasi bagi pemerintah Indonesia. Catatan dimulai dari kelambanan proses hukum dan rekonsiliasi hingga penyangkalan pemerintah atas terjadinya pelanggaran HAM berat.
Hakim juga merekomendasikan pemerintah Jokowi segera menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM.
"Sidang berpikir bahwa Presiden Jokowi (Joko Widodo) akan melakukannya karena semangat memenuhi janji kampanyenya," kata Yacoob.
Untuk itu, arsip-arsip rahasia harus dibuka dan hasil penyelidikan kejahatan kemanusiaan harus dipublikasikan.
Selain itu, sudah saatnya pemerintah mengakui tragedi yang terjadi, meminta maaf atas kerusakan yang ditimbulkan, dan menginvestigasi pelaku yang masih hidup.
Setelah hakim membacakan keputusannya, sidang ditutup. Ruangan pun langsung hiruk-pikuk.
Ketua IPT 1965 Nursyahbani Kartjasungkana menyampaikan ucapan terima kasihnya terutama kepada para korban. "Semoga mereka sekarang beristirahat dengan tenang,"ucapnya.
Antropolog Saskia Wieringa dan saksi ahli kunci kasus IPT 1965 melihat hasil ini adalah upaya pertama memecah kebungkaman.
"Banyak sekali yang masih harus dilakukan sebelum penyidikan dimulai. Kami belum selesai, tapi baru mulai," katanya.
Senada, jaksa IPT 1965 Todung Mulya Lubis menyatakan hasil IPT 1965 merupakan tonggak baru upaya mencari kebenaran.
"Walau tidak ada ikatan hukumnya, tapi ini menjadi basis mencari jalan keluar dan rekonsiliasi. Apalagi karena hasil ini sejalan dengan rekomendasi Komnas HAM," tuturnya.
Dalam hal ini, ia menyayangkan pejabat pemerintah yang kurang memahami IPT. "Pemerintah Belanda tidak terlibat dalam IPT. Saya juga setuju mengadakan IPT di Indonesia, tapi kenyataannya pemutaran film Joshua Oppenhaimer saja diblokir," kata Todung.
Sementara itu, salah satu saksi, yang juga sebagai Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan, Bejo Untung, mengaku bahagia. "Saya bahagia atas nama korban 1965. Semua korban menginginkannya karena kita tak bisa mengandalkan pengadilan dalam negeri," tuturnya.
Ia berharap Jokowi paling tidak dapat mengucapkan penyesalan negara, baru kemudian rehabilitasi dan rekonsiliasi. Tak lupa ia menitipkan pesan langsung kepada Jokowi:
"Kepada Presiden Jokowi, jika ingin memenuhi janji, ini adalah kesempatan yang baik. Jangan takut dengan jenderal-jenderal karena hasil IPT ini keputusan internasional."
Look what I shared: Pengadilan rakyat di Den Haag tentang peristiwa 1965 - BBC News Indonesia @https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/sidang_1965