Yang menyebabkan kekafiran, adalah sifat pada Perkataan dan Perbuatan.
Sifat kekafiran terwujud pada keduanya dengan syarat:
Telah dinyatakan dalam dalil syar'i
Contoh : Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
Dalam Shahih Al-Bukhari, kitab Al-iman,
bab Kufur terhadap keluarga dan Kufrun Duna Kufrin.
Pada bab tersebut. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa Nabi saw bersabda: Aku diperlihatkan neraka, ternyata
kebanyakan penghuninya adalah wanita yang pada kufur.
Beliau ditanya, "Apakah mereka kufur kepada Allah?"
Beliau menjawab, "Mereka kufur (mengingkari) terhadap
suaminya dan mereka mengingkari terhadap kebaikan."
(Hadits no.29) Al-Bukhari juga meriwayatkan dalam
kitab Al-Haidh dari Abu Sa'id bahwa Nabi saw melewati
beberapa wanita, maka beliau bersabda: Wahai kaum wanita,
bersedekahlah, karena sesungguhnya, aku melihat kalian
yang paling banyak menjadi penghuni neraka.
Mereka bertanya, "Kenapa wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab, "Karena kalian sering melaknat dan kufur
terhadap suami."(Hadits no. 3040)
Dalam hadits tersebut, Rasulullah saw mensifati wanita yang
tidak memberikan hak suaminya (al-asyir) dan tidak
mensyukuri kebaikan suami dengan sifat kufur.
Namun qariinah yang menyertai hadits menunjukkan bahwa
yang dimaksud adalah kufur kecil, bukan kufur besar yang
menyebabkan keluar dari Islam.
Qariinah yang menyertai hadits itu adalah ketika mereka
bertanya, "Apakah mereka kufur kepada Allah?"
Beliau saw mengingkarinya dan dalam hadits satunya
beliau memerintah
kaum wanita bersedekah untuk menghapus kemaksiatan-
kemaksiatan tersebut, sedangkan sedekah itu hanya berguna
bagi orang yang beriman (beragama Islam),
berdasarkan sabda Rasulullah saw:
Dan sedekah itu menghapuskan kesalahan sebagai mana
air memadamkan api.
(Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dan dia mengatakan,
"Hadits ini hasan shahih.")
Padahal, sedekah dari orang kafir itu tidak diterima, tidak
pula menghapus dosanya.
Ini berdasarkan firman Allah:
Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni dosa syirik
(QS. An-Nisa: 48)
Maka, hal itu menunjukkan bahwa mereka beriman.
Meskipun, kemaksiatan mereka disifati sebagai kekufuran,
namun ini adalah kufur kecil.
Contoh lain, adalah sabda Rasulullah saw:
Mencela seorang Muslim merupakan salah satu bentuk
kefasikan, sedang membunuhnya merupakan salah satu
bentuk kekafiran.
Juga sabda Rasulullah saw: Janganlah kalian kembali kafir
sepeninggalku, yaitu dengan saling membunuh satu sama
lain.
Kedua hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Bukhari.
Beliau menyebut membunuh orang muslim dengan
kekafiran, begitu pula dengan saling membunuh.
Sedangkan nash–nash lain menyatakan
bahwa orang yang membunuh namun sesuai syar'i tidaklah
kafir. Ini berdasarkan firman Allah: Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat)
kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu keringanan
dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih[111].
(QS. Al-Baqarah: 178)[111].
Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama.
Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh
mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu
dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar.
Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya
dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang
membunuh hendaklah membayarnya dengan baik,
umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya.
Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan
hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh,
atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat,
maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat
dia mendapat siksa yang pedih. Dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa ketika Islam hampir disyariatkan,
pada jaman Jahiliyah ada dua suku bangsa Arab
berperang satu sama lainnya. Di antara mereka ada yang
terbunuh dan yang luka-luka, bahkan mereka membunuh
hamba sahaya dan wanita. Mereka belum sempat
membalas dendam karena mereka masuk Islam.
Masing-masing menyombongkan dirinya dengan jumlah
pasukan dan kekayaannya dan bersumpah tidak ridho
apabila hamba-hamba sahaya yang terbunuh itu tidak
diganti dengan orang merdeka, wanita diganti dengan pria.
Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 178) yang
menegaskan hukum qishash.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber
dari Sa'id bin Jubair.)
Demikianlah, Allah menetapkan persaudaraan iman
antara orang yang membunuh dan wali dari yang terbunuh.
Demikian pula dalam keadaan saling berperang
sebagai mana firman Allah:
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman
ituberperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!
Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang
lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil;
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil. (QS. Al-Hujurat: 9)
Demikianlah, Allah menamakan mereka dengan
kelompok beriman, meskipun mereka saling berperang.
Ini menunjukkan bahwa kekafiran yang disebut dalam
hadits-hadits di atas tidaklah menghapuskan keimanan
sehingga kekufuran yang dimaksud adalah kufur kecil
atau kufrun duna kufrin.
Insyaallah bersambung...
(Sumber : Aziz, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul.
Kafir Tanpa Sadar : Seringkali kekafiran terjadi tanpa
kita sadari. Kapankah itu? Solo : media Islamika, 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar