Senin, 18 Juli 2011

Kafir tanpa sadar


Yang menyebabkan kekafiran, adalah sifat pada Perkataan dan Perbuatan.

Sifat kekafiran terwujud pada keduanya dengan syarat:

Telah dinyatakan dalam dalil syar'i
Contoh : Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari 
 Dalam Shahih Al-Bukhari, kitab Al-iman, 
bab Kufur terhadap keluarga dan Kufrun Duna Kufrin. 
Pada bab tersebut. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, 
bahwa Nabi saw bersabda: Aku diperlihatkan neraka, ternyata 
kebanyakan penghuninya adalah wanita yang pada kufur. 
Beliau ditanya, "Apakah mereka kufur kepada Allah?" 
Beliau menjawab, "Mereka kufur (mengingkari) terhadap 
suaminya dan mereka mengingkari terhadap kebaikan."
(Hadits no.29) Al-Bukhari juga meriwayatkan dalam 
kitab Al-Haidh dari Abu Sa'id bahwa Nabi saw melewati 
beberapa wanita, maka beliau bersabda: Wahai kaum wanita, 
bersedekahlah, karena sesungguhnya, aku melihat kalian 
yang paling banyak menjadi penghuni neraka. 
Mereka bertanya, "Kenapa wahai Rasulullah?" 
Beliau menjawab, "Karena kalian sering melaknat dan kufur 
terhadap suami."(Hadits no. 3040)
Dalam hadits tersebut, Rasulullah saw mensifati wanita yang 
tidak memberikan hak suaminya (al-asyir) dan tidak 
mensyukuri kebaikan suami dengan sifat kufur.
Namun qariinah yang menyertai hadits menunjukkan bahwa 
yang dimaksud adalah kufur kecil, bukan kufur besar yang 
menyebabkan keluar dari Islam.
Qariinah yang menyertai hadits itu adalah ketika mereka 
bertanya, "Apakah mereka kufur kepada Allah?" 
Beliau saw mengingkarinya dan dalam hadits satunya 
beliau memerintah 
kaum wanita bersedekah untuk  menghapus kemaksiatan-
kemaksiatan tersebut, sedangkan sedekah itu hanya berguna 
bagi orang yang beriman (beragama Islam), 
berdasarkan sabda Rasulullah saw:
Dan sedekah itu menghapuskan kesalahan sebagai mana 
air memadamkan api.
(Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dan dia mengatakan, 
"Hadits ini hasan shahih.")
Padahal, sedekah dari orang kafir itu tidak diterima, tidak 
pula menghapus dosanya.
Ini berdasarkan firman Allah:
Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni dosa syirik 
(QS. An-Nisa: 48)
Maka, hal itu menunjukkan bahwa mereka beriman.
Meskipun, kemaksiatan mereka disifati sebagai kekufuran, 
namun ini adalah kufur kecil. 
Contoh lain,  adalah sabda Rasulullah saw: 
Mencela seorang Muslim merupakan salah satu bentuk 
kefasikan, sedang membunuhnya merupakan salah satu 
bentuk kekafiran.
Juga sabda Rasulullah saw: Janganlah kalian kembali kafir 
sepeninggalku, yaitu dengan saling membunuh satu sama 
lain.
Kedua hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Bukhari.
Beliau menyebut membunuh orang muslim dengan 
kekafiran, begitu pula dengan saling membunuh. 
Sedangkan nash–nash lain menyatakan 
bahwa orang yang membunuh namun sesuai syar'i tidaklah 
kafir. Ini berdasarkan firman Allah: Hai orang-orang yang 
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan 
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang 
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. 
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan 
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) 
mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) 
kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). 
Yang demikian itu adalah suatu keringanan 
dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. 
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih[111].
(QS. Al-Baqarah: 178)[111]. 
Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. 
Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh 
mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu 
dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. 
Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya 
dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang 
membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, 
umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. 
Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan 
hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, 
atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, 
maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat 
dia mendapat siksa yang pedih. Dalam suatu riwayat 
dikemukakan bahwa ketika Islam hampir disyariatkan, 
pada jaman Jahiliyah ada dua suku bangsa Arab 
berperang satu sama lainnya. Di antara mereka ada yang 
terbunuh dan yang luka-luka, bahkan mereka membunuh 
hamba sahaya dan wanita. Mereka belum sempat 
membalas dendam karena mereka masuk Islam. 
Masing-masing menyombongkan dirinya dengan jumlah 
pasukan dan kekayaannya dan bersumpah tidak ridho 
apabila hamba-hamba sahaya yang terbunuh itu tidak 
diganti dengan orang merdeka, wanita diganti dengan pria. 
Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 178) yang 
menegaskan hukum qishash.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber 
dari Sa'id bin Jubair.) 
Demikianlah, Allah menetapkan persaudaraan iman 
antara orang yang membunuh dan wali dari yang terbunuh. 
Demikian pula dalam keadaan saling berperang 
sebagai mana firman Allah: 
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman 
ituberperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! 
Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang 
lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu 
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. 
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya 
menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; 
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang 
berlaku adil. (QS. Al-Hujurat: 9) 
Demikianlah, Allah menamakan mereka dengan 
kelompok beriman, meskipun mereka saling berperang. 
Ini menunjukkan bahwa kekafiran yang disebut dalam 
hadits-hadits di atas tidaklah menghapuskan keimanan 
sehingga kekufuran yang dimaksud adalah kufur kecil 
atau kufrun duna kufrin. 
Insyaallah bersambung...
(Sumber : Aziz, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul.
Kafir Tanpa Sadar : Seringkali kekafiran terjadi tanpa 
kita sadari. Kapankah itu? Solo : media Islamika, 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar