Seringkali aku berkata..
Ketika semua orang memuji milikku..
Bahwa sesungguhnya semua ini hanyalah titipan..
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya..
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya..
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya..
Bahwa jabatanku hanyalah titipan-Nya..
Tetapi mengapa aku tak pernah bertanya..
Mengapa Dia menitipkan-nya padaku..?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku..?
Dan kalau bukan milikku..
Apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu..?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku..?
Mengapa hatiku justru terasa berat..
Ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya..?
Ketika titipan diminta kembali.. Kusebut itu sebagai musibah..
Kusebut itu sebagai ujian..
Kusebut itu sebagai petaka..
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja..
Untuk melukiskan kalau itu adalah derita..
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku..
Aku ingin lebih banyak harta..
Ingin lebih banyak mobil..
Lebih banyak popularitas..
Dan kutolak sakit dan derita..
Kutolak kemiskinan..
Seolah semua derita itu adalah hukuman bagiku..
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika..
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku..
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang dan bukan kekasih..
Kuminta Dia membalas segala perlakuan baikku..
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku..
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah kepada-Mu..
Ketika Langit dan Bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja..
(Puisi terakhir WS. Rendra yang dituliskannya diatas ranjang Rumah Sakit, sebelum akhir hayatnya)
------------------------------------------------
Sent from my Roodzßerry® via INDOSAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar