Selasa, 18 Februari 2014

Ayah Sukses atau Ayah Gagal

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep Sapa'at

(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)

 

Saya sangat suka membaca buku. Saat-saat paling mengasyikkan, hidup saya jadi tertata lebih baik karena mempraktikkan inspirasi kebaikan dari buku dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu buku yang memperbaiki cara berpikir saya, salah satunya, buku Membangun Indonesia yang Kuat dari Keluarga karya Ayah Edy (Penggagas Gerakan Indonesian Strong from Home).

Ada sesuatu yang kuat yang mampu menahan saya untuk tak membuka halaman berikutnya. Saya dipaksa untuk lebih lama berpikir dan merenung, menyibak makna isi  buku di halaman 90, renungan 32, ‘Ayah Sukses, Ayah Gagal’.

Perhatikan perbedaan nasihat ayah sukses dan ayah gagal berikut. “Nak, sekolah yang pintar, ya. Supaya nanti kamu dapat sekolah unggulan, lalu nanti kamu pintar cari uang, dapat gaji besar dan hidupmu kelak akan bahagia”. Ayo tebak, itu nasihat ayah sukses atau ayah gagal? Coba bandingkan dengan nasihat ayah yang satu ini, “Nak, jika ingin bersekolah, pilihlah sekolah yang membuat hatimu bahagia, yang mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang kamu butuhkan untuk menjadi yang terbaik dalam profesi impianmu.

Sekolah yang membuatmu menjadi seorang bintang dunia. Dan bukan sekolah yang memaksamu menghapalkan informasi yang tidak kamu butuhkan, juga mengerjakan tugas-tugas dan PR yang jelas-jelas tak berhubungan dengan profesi impianmu kelak”. Nasihat ayah sukses atau gagal?

Ayah, sukses atau gagal dalam mengarungi perjalanan hidup, kisahnya bisa jadi pelajaranberharga buat anak. Kisah sukses ayah, tak membuat anak jadi jumawa. Anak tumbuh rasa percaya diri dan punya kemauan kuat untuk melebihi sang ayah. Kisah gagal ayah, anak diajakbersikap arif menerima kegagalanAyah gagal, hidupnya penuh obsesi. Celakanya, obsesi masa lalu yang tak tercapai ditimpakan pada sang anak.

Seolah-olah, anak kita jadi tempat untuk menumpahkan segala obsesi. Ayah gagal tak mampu kelola nafsu diri, akhirnya anak jadi korban. Cermati apa yang sering dikatakan ayah gagal pada anak-anaknya, “Kamu harusbersekolah di sekolah X biar kamu jadi X, punya jabatan Y, punya uang sebanyak Z”. Tak ada ruang diskusi dengan sang anak. Kalau sudah keluar kata-kata ‘pokoknya’, cerita sudah berakhir. Anak tak kuasa menolak. Kebijakan bersifat top-down, anak tak bisa sumbang saran dan harapan pada sang ayah.

Ayah gagal tak paham bahwa anaknya bukanlah dirinya. Anak kita punya potensi unik. Ayahnya suka pelajaran eksak, tak usah kaget kalau anaknya tak demikian. BIsa jadi malah dia menggemari pelajaran sosial. Tak usah heran pula jika ayahnya seorang pengusaha sukses tapi anaknya bangkrut total dalam berbisnis. Kita tak sedang bicara soal bakat turunan. Ini bicara soal komitmen sang ayah untuk memberi jalan kebaikan untuk masa depan sang anak.

Ayah sukses tahu cara menyayangi sang anak. Dia tak akan paksakan kehendak diri sendiri. Anak diberi ruang diskusi untuk menentukan yang terbaik untuk kehidupan dirinya di masa depan. Ayah sukses lebih tahu diri daripada ayah gagalKetika anak mesti bersekolah di sekolah X, ayah gagal pasti menggunakan pertimbangan eksternal terkait status sekolah yang digembar-gemborkan banyak orang.

Pilih sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah juara, apapun nama sekolah itu, jika anak tak kerasan dan tak sepenuh hati untuk menjadi bagian dari sekolah pilihan sang ayah, untuk apa? Siapa sebenarnya yang hendak bersekolah, ayah atau anak? Bagi ayah gagal, kata orang lain jauh lebih dipercaya ketimbang kata hati anaknya.

Ayah sukses, mengajak anak berdiskusi agar pilihan sang anak bisa disadari segala konsekuensinya. Kelak, sang anak tak akan salahkan ayah dan bahagia menjalani lika-liku hidup di sekolahnya. Ini baru bicara soal memilih sekolah, belum bicara hal besar lainnya dalam hidup sang anak, seperti apa profesi pilihan mereka di masa depan, kriteria calon pendamping hidup yang ideal bagi mereka, wualah pokoknya masih banyak deh. Ayah sukses siap menemani dan membimbing proses pengambilan keputusan dengan sang anak. Perilaku ayah gagal, intervensi cita-cita sang anak, ambil kebijakan sepihak, lalu tak mampu perankan diri sebagai teladan.

Ayah sukses tak pernah merasa dirinya sukses. Sesungguhnya, ayah sukses paham dirinya harus serius mendidik diri sendiri agar bisa jadi teladan. Kerja tak dibumbui praktik korupsi, kerja mencari nafkah dilakoni penuh tanggung jawab, anak istri tak dinafkahi dari proyek yang tak jelas halal haramnya, itulah keseharian ayah sukses.

Sesibuk apapun pekerjaan mendera, ayah sukses paham bahwa bekerja itu bisa dilakukan seumur hidup, tapi menemani anak di masa-masa kecil hanya sekali seumur hidup. Waktu tak bisa diputar ulang. Kalau pun terjadi, itu hanya ada di slogan ‘seandainya waktu bisa kembali’. Mustahil.

Sukses atau gagal, itulah bagian penting dalam drama kehidupan. Bagi ayah, sukses atau gagal harus dimaknai secara mendalam. Sukses ayah tercermin dari akhlak anaknya. Jika rusak akhlaknya, maka fitnah bagi sang ayah. Jika mulia akhlaknya, bersyukurlah. 

Ayah yang merasa dirinya gagal dan terus berbenah diri, mendidik diri agar bisa berperilaku baik, itulah ayah sukses. Jangan sebaliknya, ayah yang merasa sukses abai mengintrospeksi diri, merasa paling benar di hadapan anak, itulah ayah gagal. Merasa pandai dan pandai merasakan, dua hal berbeda. Kata ‘merasa’ pula yang bisa menjadi pembeda antara ayah gagal atau ayah sukses. Apakah Anda masuk kategori ayah sukses atau ayah gagal? Mari pandai-pandailah merasakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar